UKM Kompas: Oleh -oleh dari Puncak Bromo

Maksud hati bukan untuk mengingat kejadian yang telah berlalu, tapi hal ini yang sempat kita dengar beberapa bulan lalu hingga menjadi hot news ketika mata kuliah pancasila.



Yups, perbedaan keyakinan telah membuat masyarakat Indonesia akhir-akhir ini resah.

Tepat ketika shalat Jum’at hendak dilaksanakan pada Jum’at (15/4) lalu, sebuah bom meledak di masjid Mapolresta Cirebon, banyak jama’ah yang menjadi korban, ada juga kejadian yang sempat gempar ketika ada sekelompok masyarakat yang menyerang penganut ahmadiyah.



kontras dengan pemandangan yang tersaji di sekian ratus kilometer dari tempat insiden bom bunuh diri atau tempat penyerangan anggota Ahmadiyah itu. Tepatnya di desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, kerukunan dan kedamaian terasa begitu kental di daerah yang dihuni oleh masyarakat suku Tengger ini.

kantor desa Sapikerep

Perjalanan dimulai dari kampus tercinta UNEJ, kami yang mengatasnamakan organisasi pecinta alam fakultas Sistem Informasi ingin mengetahui secara langsung bagaimana keadaan suku tengger beserta alamnya, gunung Bromo setelah erupsi. Sempat ragu ketika rencana itu ada yang menyangkal bahwa gunung bromo masih belum aman.



Memang gunung bromo sejatinya masih status siaga, tapi apalah guna jika mengunjungi gunung bromo ketika kondisi normal , mungkin kalau hal tersebut pantas disebut “rekreasi”…

Status terakhir Gn. Bromo



Tapi rencana kali ini bukanlah main – main menantang nyawa, akan tetapi sudah direncanakan dengan mengubungi balai konservasi Taman nasional Gunung Bromo-tengger-semeru.





Yups, masyarakat tengger adalah masyarakat yang menghuni lereng Gunung Bromo, Gunung yang hingga sekarang masih berstatus waspada.

masyarakat tengger

Berdasarkan informasi yang saya dapat dari teman saya yang berasal dari probolinggo, desa yang terletak sekitar 15 km dari Gunung Bromo ini sangat cocok menjadi pilihan untuk melihat lebih dekat bagaimana kerukunan hidup antar umat beragama yang kini semakin jarang ditemukan di negeri ber-bhinneka ini. Konon, di desa ini terdapat penganut agama Islam, Hindu, dan agama lainnya yang hidup berdampingan dan rukun.

Kehidupan warga di desa yang dihuni oleh 2.823 jiwa dan terdiri dari 910 kepala keluarga ini damai sejak dari dulu meski terdiri dari latar belakang agama yang berbeda. Menurut Arjiwan Widodo yang menjadi Pak Tinggi (Kepala Desa, red) desa Sapikerep, dari warganya terdapat kurang lebih 50% beragama Muslim, Hindu 45%, dan agama lainnya seperti Kristen berjumlah sekitar 5%, mereka semua hidup rukun dan berdampingan tanpa gesekan dari zaman nenek moyang dulu. Hal ini diindikasikan terjadi karena warga di desa ini memegang kuat adat yang berlaku.

bercengkrama dalam dinginya udara



Toleransi beragama yang akhir-akhir ini banyak dipertanyakan, ternyata terlihat sangat kental di sini, contohnya ketika Idul Fitri yang menjadi hari besar bagi Muslim, tak hanya sesama muslim, tapi tetangga yang beragama lain juga turut berkunjung ke rumah tetangganya yang sedang merayakan hari besarnya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, ketika tiba waktunya shalat bagi orang Islam dan sembah yang bagi umat Hindu, pengeras suaranya pun bergantian, jika sudah selesai adzan di masjid, maka kemudian pengeras suara milik Pura yang berbunyi.



Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, suku Tengger adalah salah satu dari sekian suku yang masih menjaga kearifan lokalnya. Berbagai macam adat-istiadat masih terjaga rapi. Salah satunya adalah upacara adat yang rutin digelar mulai setahun hingga lima tahun sekali. Yaitu Karo yang diadakan setahun sekali, Unan-unan setiap lima tahun sekali, dan Kasada yang diadakan setahun sekali (yaitu pada tanggal 15 bulan Poso/Ramadhan).



Suku Tengger mudah dikenali karena kain sarung yang mereka kenakan, atau yang biasa disebut dengan kawengan. Kawengan juga berfungsi sebagai baju penghangat dan dikenakan mulai dari berladang hingga santai.



Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mayoritas dari mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul, sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, wortel, dan lain-lainnya.



Meskipun hal itu tak kami jumpai selama perjalanan, hal ini dikarenakan debu dan pasir material gunung bromo telah mengubur semuanya yang ada di sekitarnya. Jalan yang kami lalui penuh dengan pasir tebal sehingga ban motor kami sering selip.

ladang yang terkubur

Begitu juga ketika sampai di lautan pasir, motor kami terpaksa diparkir jauh dari tangga yang akan menuju kawah. Kami pun melanjutkan dengan berjalan kaki.

berperang melawan debu





Suatu perjalanan yang penuh arti hingga kami sampai di salah satu titik puncak tertinggi,



Puncak gn. bromo 2329 mdpl

yupz kawah bromo (2329 mdpl)



from PSSI to Indonesia
Angga Riswanda

0 comments: